Friday, November 20, 2009

Waktu Subuh Yang Bikin Ricuh

Keresahan itu muncul di Yogja, ketika di masyarakat beredar selebaran mengenai jadwal waktu Subuh yang dianggap menyesatkan. Selebaran yang merupakan fotokopi-an artikel yang dimuat Majalah Qiblati Agustus lalu itu dinilai memprovokasi dan memecah belah umat. Isi selebaran tersebut menjelaskan, waktu awal Subuh yang selama ini digunakan sebagian besar umat Islam di Indonesia dikatakan terlalu cepat 25 menit sehingga belum masuk waktu Subuh yang sebenarnya.

Kabarnya sudah ada beberapa masjid di Banjarmasin yang mengikuti selebaran itu, yang memundurkan waktu shalat Subuh hingga 25 menit. Sebut saja Masjid Al-Jihad, Masjid Ar-Rahim, Masjid At-Tanwir, Masjid Baitul dan Hikmah. Sehubungan dengan itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi Daerah Istimewa Yogjakarta segera menggelar sidang (21/8). Sidang merumuskan bahwa jadwal shalat yang beredar di masyarakat Muslim, yang dikeluarkan Pemerintah (Cq. Departemen Agama RI), maupun ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan Nahdaltul Ulama (NU), adalah hasil hitungan para ulama dan ahli syar’i sekaligus juga ahli hisab dan falak.

MUI berpendapat, waktu yang selama ini digunakan umat dalam menjalankan shalat Subuh, sudah sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Umat Islam, khususnya di DI Yogjakarta untuk tidak ragu dan resah menggunakan jadwal tersebut di dalam melaksanakan ibadah shalat, termasuk awal shalat Subuh. MUI juga mengimbau kepada masyarakat untuk tidak saling menyesatkan dan menyalahkan tentang jadwal shalat Subuh. “Masyarakat harus waspada terhadap upaya-upaya yang dapat memecah-belah umat Islam,” ungkap Ketua MUI DIY H.M. Thoha Abdurrahman.

Polemik seputar “salah kaprah” waktu Subuh mulanya mencuat di Majalah Qiblati secara berseri (Edisi 8-10 Volume 4) -- majalah yang diterbitkan kelompok Salafy. Dalam mukaddimah-nya, majalah itu menerangkan perjalanan yang dilakukan Pemimpin Redaksi (Pemred) Qiblati, Agus Hasan Bashori bersama Syaikh Mamduh Farhan Al-Buhairi dari Malang ke Jember, Jawa Timur, Sabtu (21 Februari 2009), dan ditemani dua orang laki-laki bernama Terang dan Shalahuddin. Sebelum Subuh, mereka sudah start menuju Jember.

Baru sampai di Lawang, mereka mendengar suara adzan Subuh. Waktu itu jam di mobil menunjukkan pukul 04.20-an. Saat Pemred Qiblati ajak menepi untuk shalat, Syaikh Mamduh berkata: “Kita ini kan musafir, kalau kita boleh memilih, maka aku suka shalat di depan sana saja, lagi pula waktu subuh belum masuk.”

Setelah masuk Pasuruan (pukul 04.45) mereka baru singgah di sebuah masjid untuk shalat Subuh (sementara para jamaah sudah selesai wiridan dan mulai tadarus al-Qur'an). Usai shalat, perjalanan dilanjutkan. Dalam perjalanan, mereka mendiskusikan masalah seputar waktu Subuh. Hasil diskusi inilah, yang mendorong Qiblati memuat artikel yang ditulis oleh Syaikh Mamduh secara berseri.

Pemred Qiblati menjelaskan, diturunkannya artikel ini dimaksudkan untuk memberikan pencerahan kepada kaum Muslimin tentang agama dan shalat mereka mengingat penting dan seriusnya masalah ini. ”Harapannya adalah agar setiap Muslim memahami masalah ini, kemudian serius mengkaji dan menelaah serta mencoba memberikan dan mencarikan solusi, sehingga pada akhirnya kita bisa menjalankan kewajiban shalat Subuh dengan hati tenang, sesuai dengan syariat, menjalankan amalan yang sah dan diterima di sisi Allah,”ungkap Pemred.

Qiblati menyarankan agar dibentuk sebuah kelompok kerja yang terdiri dari ulama dan pakar astronomi (hisab) untuk meneliti ulang penentuan waktu shalat yang ada dalam sistem penanggalan. Syaikh Mamduh menasihatkan kepada para muadzin untuk mengakhirkan adzan Subuh, begitu pula mengakhirkan iqamah sebisa mungkin. “Kami nasihatkan kepada para imam dan muadzin untuk mengenal dan mengetahui fajar shadiq sebagaimana disebutkan dalam sunnah Nabi, dan jangan sampai mereka menanggung batalnya shalat kaum Muslimin.”

Syaikh Mamduh juga meminta kepada kaum wanita dan orang-orang sakit yang shalat di rumah, agar tidak menjadikan adzan di masjid-masjid (sekarang) sebagai ukuran masuknya waktu, tetapi hendaknya mengakhirkan hingga selesainya jamaah di masjid-masjid, kira-kira 25 menit sesudah adzan. ”Kami nasihatkan saudara-saudara yang tidak mau ikut shalat berjamaah di masjid-masjid (sekarang) untuk tetap menetapi jamaah dan nasihat dengan penuh adab dan ketenangan, karena dosa akan dipikul pihak-pihak yang bertanggungjawab, begitu pula pada pundak-pundak muadzin dan imam di setiap masjid,” tukas Syaikh Mamduh.

Sementara itu, pihak Qiblati mengaku telah mengirimkan surat ke Depag RI Pusat (Menteri Agama), MUI Pusat dan MUI Propinsi se-Indonesia, ormas-ormas Islam (NU, MUhammadiyah dan Persis) sejumlah 46 surat, pada tanggal 31 Juli 2009, yang isinya: permohonan pengkajian ulang waktu shalat Subuh. Dalam surat tersebut dilampirkan tiga makalah fajar dan satu eksemplar majalah Qiblati edisi 11 tahun 4 yang memuat 6 makalah terkait fajar.

Ketika dikonfirmasi Sabili, pihak MUI mengaku belum pernah menerima surat yang dikirim pihak Qiblati. “Biasanya, kalau ada surat masuk yang menyangkut persoalan umat, kami akan bahas di Komisi Pengkajian. Tapi hingga saat ini surat itu belum kami terima. Yang jelas, MUI selalu terbuka jika ada pihak-pihak yang menginginkan dialog,” kata pengurus, MUI Ustadz Asrorun Ni’am.

Menurut Ni’am, segala sesuatu harus diserahkan pada ahlinya. Dalam kaitan ini harus melibatkan ahli astronomi, dan badan hisab/rukyat, termasuk ormas Islam. Dalam memutuskan fatwa, ihwal waktu Subuh, seyogianya tidak disampaikan secara provokatif, tapi harus dengan keilmuan (akademik). Waktu Subuh yang dilakukan umat Islam, sudah tepat, karena telah melibatkan para ahlinya,” kata Ni’am.


Polemik Fajar Shadiq

Berikut penuturan Syaikh Mamduh yang dimuat dalam Qiblati, ”Hati ini menjadi sedih, ketika melihat negara-negara Islam semuanya tanpa kecuali, ternyata tidak melaksanakan shalat Subuh tepat pada waktunya. Mereka shalat sebelum masuk waktunya. Tentu saja sangat disayangkan. Dalam hal ini antara negara yang satu dengan yang lain berbeda dalam tingkat kesalahan seputar waktu Subuh.”

Berdasarkan pengamatan dan penelitian Syaikh Mamduh, ia menemukan bahwa azan Subuh dikumandangkan sebelum waktunya, berkisar antara sembilan hingga 28 menit. Dan sangat disayangkan lagi, Indonesia (secara umum) termasuk negara yang paling jauh dari waktu sebenarnya, yakni mengumandangkan adzan 24 menit sebelum munculnya fajar shadiq.

Sesungguhnya jadwal waktu shalat yang dipakai sekarang ini di hampir semua negara Islam, kata Syaikh Mamduh, diambil dari penanggalan Mesir yang dibuat oleh seorang insinyur Inggris pada saat penjajahan Inggris atas Mesir. Insinyur ini ingin membuat penanggalan untuk penentuan waktu di Mesir. Ia bersama beberapa guru besar dari Al-Azhar berkumpul di Padang Sahara Jizah, kemudian dari tempat itu, berdasarkan letak garis bujur dan garis lintang dan perhitungan waktu Greenwich, dibuatlah penentuan waktu harian, di antaranya adalah waktu shalat.

Orang-orang Mesir sendiri waktu itu mengakui bahwa penentuan waktu tersebut menyelisihi waktu-waktu shalat yang dipakai pada masa Muhammad Ali Basya dan Turki Utsmaniyah, yang mengandalkan bayangan (matahari) dan analoginya serta berdasarkan terbitnya fajar shadiq.

Menurut Syaikh Mamduh, penanggalan Mesir yang dibuat tersebut tidak dihitung berdasarkan penentuan waktu shalat yang benar, melainkan berdasarkan perhitungan garis lintang dan garis bujur yang sekarang ini diberlakukan secara luas (umum) pada setiap negara. Sebagian besar negeri Muslim, kata Mamduh, melaksanakan shalat Subuh di waktu fajar kadzib (Zodiacal Light), yakni pada waktu masih gelap di akhir malam.

”Sepengetahuan saya, tidak ada satu negara pun melainkan memakai perhitungan dengan cara ini. Termasuk yang paling mengherankan adalah negara-negara ini mengakhirkan (menunda) shalat dari setelah adzan lima menit untuk shalat maghrib hingga dua puluh lima menit untuk shalat-shalat yang lain. Itu dilakukan agar kesalahan penentuan waktu bisa sedikit dihindari. Tentu ini tertolak, karena masuknya waktu berdasarkan perintah syariat adalah adzan, bukan iqamah,” ujar Mamduh.

Para ulama sepakat, syarat terpenting bagi sahnya shalat adalah masuknya waktu. Para ulama fiqih menyatakan bahwa siapa yang ragu tentang masuknya waktu shalat, maka ia tidak boleh melakukan shalat hingga ia benar-benar yakin bahwa waktunya telah masuk.

Menurut Ibn Mandzur, Al-Fajr adalah "Cahaya Subuh", yaitu semburat merah di gelapnya malam karena sinar matahari. Ada dua fajar, yang pertama adalah meninggi (mustathil) seperti ekor serigala hitam (sirhan), dan yang kedua adalah yang melebar (memanjang, mustathir) disebut fajar shadiq, yaitu menyebar di ufuk, yang mengharamkan makan dan minum bagi orang yang berpuasa. Subuh tidak masuk kecuali pada fajar shadiq ini."

Kata Al-Fajr dalam bahasa Arab dimaksudkan awal terangnya siang hari, dan bahwa fajar itu ada dua, yang pertama fajar kadzib, dan fajar shadiq. Dengan mengenal kedua fajar ini, telah menetapkan hukum syariat seperti menahan diri dari makan dan minum bagi orang yang puasa, serta awal waktu shalat, serta shalat sunnah Subuh, yaitu fajar shadiq.

Beberapa dalil yang diungkapkan Qiblati, diantaranya adalah Ibn Jarir dalam Tafsir At-Thabari (2/167). Dijelaskan, "Sifat sinar Subuh yang terang itu, ia menyebar dan meluas di langit, sinarnya (terangnya) dan cahayanya memenuhi dunia hingga memperlihatkan jalan-jalan menjadi jelas."

Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan, "Para ulama menyebutkan bahwa antara fajar kadzib dan fajar shadiq ada tiga perbedaan: Pertama, Fajar Kadzib mumtad (memanjang) tidak mu'taridh (menghadang); Mumtad maksudnya memanjang dari timur ke barat. Sedangkan fajar shadiq melebar dari utara ke selatan. Kedua, Fajar kadzib masih gelap, artinya cahaya fajar ini sebentar kemudian gelap lagi. Sedangkan fajar shadiq tidak dalam keadaan gelap, bahkan semakin lama semakin terang cahayanya (karena merupakan awal siang). Ketiga, Fajar shadiq bersambung dengan ufuk, tidak ada kegelapan antara fajar ini dengan ufuk. Sedangkan fajar pertama, terputus dari ufuk, ada kegelapan antara fajar kadzib dan ufuk.

Dikatakan bid’ah, diungkap Majalah Qiblati dengan mengutip Ibn Hajar: "Termasuk bid'ah munkar adalah apa yang diada-adakan di zaman ini, berupa mengumandangkan adzan kedua sekitar 1/3 jam (20 menit) sebelum waktu fajar di bulan Ramadhan, mematikan lampu-lampu yang menjadi tanda haramnya makan dan minum bagi siapa yang hendak puasa, mereka mengaku bahwa hal ini dilakukan untuk kehati-hatian dalam ibadah, dan tidak mengetahui hal ini kecuali sedikit saja dari manusia." (Fathulbari, 4/199).

Ringkasnya, ungkap Syaikh Mamduh, mendahulukan waktu adzan subuh sekarang ini merupakan bencana umum yang menimpa umat karena keterikatan dengan penanggalan yang di luar kemampuan mereka. Sekiranya umat ini memiliki kekuasaan (untuk membuatnya), tentu kejadian ini merupakan sesuatu yang didasarkan pada kesalahan dalam penentuan masuknya waktu fajar shadiq.

Sesungguhnya adzan sebelum masuknya waktu subuh (terbitnya fajar shadiq) menyebabkan banyak kerusakan (efek negatif), di antaranya: Kebanyakan jamaah, menyegerakan dalam melaksanakan shalat sunnah fajar sebelum waktunya; Bersegera dalam makan sahur, tentu ini menyelisihi sunnah Nabi saw. Tegasnya, shalat kaum Muslimin selama ini masuk dalam kategori batal (tidak sah). Demikian Qiblati.

Menanggapai polemik tersebut, Ketua Komisi Pengkajian MUI Amin Jamaluddin menegaskan, kita harus tahu lebih dulu siapa itu Syaikh Mamduh. Apakah dia seorang yang ahli di bidangnya atau bukan. Karena hal ini harus dijawab dengan keilmuan.

Sejak awal MUI sudah mengingatkan agar mewaspadai terhadap upaya-upaya yang dapat memecah belah umat Islam. Umat hendaknya tidak resah dan ragu menggunakan jadwal di dalam melaksanakan ibadah shalat, termasuk awal shalat Subuh. Maka sudahi saja polemik ini di kalangan kaum Muslimin. Yang salah adalah mereka tidak melaksanakan shalat Subuh.

Dari:
Waktu Shubuh yang Bikin Ricuh, Adhes Satria, www.sabili.co.id, http://www.sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1020:waktu-subuh-yang-bikin-ricuh&catid=82:inkit&Itemid=199, Diakses pada hari: Jum'at, 19 November 2009
SABILI
Adhes Satria