Saturday, October 24, 2009

Hukum Oral Seks Suami-Istri

Tidak sedikit masyarakat muslim yang mempertanyakan tentang halal dan tidaknya jima' atau berhubungan suami-istri dengan cara oral. Mitos yang banyak berkembang selama ini, melakukan hubungan dengan cara memasukkan alat kelamin ke dalam mulut pasangan itu dianggap sama seperti kelakuan orang kafir, sehingga hukumnya haram. Benarkah?

Ibnu Taymiyyah berpendapat, selain ciuman dan rayuan, unsur penting lain dalam pemanasan adalah sentuhan mesra. Bagi pasangan suami-istri, seluruh bagian tubuh adalah obyek yang HALAL untuk disentuh, termasuk kemaluan. Terlebih jika dimaksudkan sebagai penyemangat jima’.

Nashirudin Al-Albani, mengutip perkataan Ibnu Urwah Al-Hanbali dalam kitabnya yang masih berbentuk manuskrip, Al-Kawakbu Ad-Durari, “Diperbolehkan bagi suami-istri untuk melihat dan meraba seluruh lekuk tubuh pasangannya, termasuk kemaluan. Karena kemaluan merupakan bagian tubuh yang boleh dinikmati dalam bercumbu, tentu boleh pula dilihat dan diraba. Diambil dari pandangan Imam Malik dan ulama lainnya.”

Berkat kebesaran Allah, setiap bagian tubuh manusia memiliki kepekaan dan rasa yang berbeda saat disentuh atau dipandangi. Maka, untuk menambah kualitas jima’, suami-istri juga diperbolehkan pula menanggalkan seluruh pakaiannya. Dari Aisyah RA, ia menceritakan, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah dalam satu bejana.…” (HR Bukhari dan Muslim)

Untuk mendapatkan hasil sentuhan yang optimal, seyogyanya suami-istri mengetahui dengan baik titik-titik yang mudah membangkitkan gairah pasangan masing-masing. Maka diperlukan sebuah komunikasi terbuka dan santai antara pasangan suami istri untuk menemukan titik-titik tersebut, agar menghasilkan efek yang maksimal saat berjima’.

Satu hal lagi yang menambah kenikmatan dalam hubungan intim suami-istri, yaitu posisi bersetubuh. Kebetulan Islam sendiri memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada pemeluknya untuk mencoba berbagai variasi posisi dalam berhubungan seks. Satu-satunya ketentuan yang diatur syariat hanyalah, semua posisi seks itu tetap dilakukan pada satu jalan, yaitu farji (vagina) dan bukan yang lainnya. Allah SWT berfirman, “Istri-istrimu adalah tempat bercocok tanammu, datangilah ia dari arah manapun yang kalian kehendaki.” QS Al-Baqarah (2:223)

Demikian halnya dengan Sheikh Muhammad Ali Al-Hanooti, Mufty, dalam www.islamawarness.net menegaskan bahwa oral sex diperbolehkan dalam Islam. Ali Al-Hanooti menegaskan bahwa yang diharamkan dalam jima' hanya ada tiga hal, di antaramya: Anal seks, berhubungan seks saat istri sedang haid atau menstruasi dan seks pasca istri melahirkan (masa nifas). Sedangkan di luar ketiga hal itu, hukumnya halal.

Hal yang sama juga diungkapkan Ustadz Sigit Pranowo, Lc. di www.eramuslim.com. Dalam sebuah kajian konsultasi yang membahas tentang oral seks, Sigit mengatakan bahwa hubungan seksual antara pasangan suami-istri bukanlah hal yang terlarang untuk dibicarakan di dalam Islam. Namun, bukan pula hal yang dibebaskan sedemikian rupa bak layaknya seekor hewan yang berhubungan dengan sesamanya.

Islam adalah agama fitrah yang sangat memperhatikan masalah seksualitas karena ini adalah kebutuhan setiap manusia sebagaimana firman Allah SWT,”Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (QS Al Baqarah: 223)

Ayat di atas menunjukkan betapa islam memandang seks sebagai sesuatu yang moderat sebagaimana karakteristik dari islam itu sendiri. Ia tidaklah dilepas begitu saja sehingga manusia bisa berbuat sebebas-bebasnya dan juga tidak diperketat sedemikian rupa sehingga menjadi suatu pekerjaan yang membosankan.

Hubungan seks yang baik dan benar, yang tidak melanggar syariat selain merupakan puncak keharmonisan suami istri serta penguat perasaan cinta dan kasih sayang di antara mereka berdua maka ia juga termasuk suatu ibadah di sisi Allah SWT sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ”...dan bersetubuh dengan istri juga sedekah. Mereka bertanya, ’Wahai Rasulullah apakah jika di antara kami menyalurkan hasrat biologisnya (bersetubuh) juga mendapat pahala?’ Beliau menjawab, ’Bukankah jika ia menyalurkan pada yang haram itu berdosa? Maka demikian pula apabila ia menyalurkan pada yang halal, maka ia juga akan mendapatkan pahala.” (HR Muslim)

Di antara variasi seksual yang sering dibicarakan para seksolog adalah oral seks, yaitu adanya kontak seksual antara kemaluan dan mulut (lidah) pasangannya. Tentunya ada bermacam-macam oral seks ini, dari mulai menyentuh, mencium hingga menelan kemaluan pasangannya ke dalam mulutnya.

Hal yang tidak bisa dihindari ketika seorang ingin melakukan oral seks terhadap pasangannya adalah melihat dan menyentuh kemaluan pasangannya. Dalam hal ini para ulama dari madzhab yang empat bersepakat diperbolehkan bagi suami untuk melihat seluruh tubuh istrinya hingga kemaluannya karena kemaluan adalah pusat kenikmatan. Akan tetapi setiap dari mereka berdua dimakruhkan melihat kemaluan pasangannya terlebih lagi bagian dalamnya tanpa suatu keperluan, sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah yang mengatakan,”Aku tidak pernah melihat kemaluannya SAW dan beliau SAW tidak pernah memperlihatkannya kepadaku.” (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Juz IV hal. 2650)

Seorang suami berhak menikmati istrinya, khususnya bagaimana dia menikmati berjima’ dengannya dan seluruh bagian tubuh istrinya dengan suatu kenikmatan atau menguasai tubuh dan jiwanya yang menjadi haknya untuk dinikmati maka telah terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama kami, karena tujuan dari berjima’ tidaklah sampai kecuali dengan hal yang demikian. (Bada’iush Shona’i, Juz VI hal. 157-159, Maktabah Syamilah)

Setiap pasangan suami-istri yang diikat dengan pernikahan yang sah di dalam berjima’ diperbolehkan untuk saling melihat setiap bagian dari tubuh pasangannya hingga kemaluannya. Adapun hadits yang menyebutkan bahwa siapa yang melihat kemaluan (istrinya) akan menjadi buta adalah hadits munkar yang tidak ada landasannya. (Asy-Syarhul Kabir Lisy Syeikh Ad-Durdir, Juz II hal. 215, Maktabah Syamilah)

Dibolehkan bagi setiap pasangan suami-istri untuk saling melihat seluruh tubuh dari pasangannya serta menyentuhnya hingga kemaluannya sebagaimana diriwayatkan dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya berkata,” Aku bertanya, ’Wahai Rasulullah aurat-aurat kami mana yang ditutup dan mana yang kami biarkan? Beliau bersabda, ’Jagalah aurat kamu kecuali terhadap istrimu dan budak perempuanmu.” (HR. tirmidzi, dia berkata,”Ini hadits Hasan Shohih.”) Karena kemaluan boleh untuk dinikmati maka ia boleh pula dilihat dan disentuhnya seperti bagian tubuh yang lainnya.

Didalam riwayat Ja’far bin Muhammad tentang perempuan yang duduk di hadapan suaminya di dalam rumahnya dengan menampakkan auratnya yang hanya mengenakan pakaian tipis, Imam Ahmad mengatakan, ”Tidak mengapa.” (Al-Mughni, Juz XV hal. 79, Maktabah Syamilah)

Oral seks yang merupakan bagian dari suatu aktivitas seksual ini, menurut Prof. DR Ali Al-Jumu’ah dan Dr. Sabri Abdur Rauf (Ahli Fiqih Univ. Al-Azhar) boleh dilakukan oleh pasangan suami-istri selama hal itu memang dibutuhkan untuk menghadirkan kepuasan mereka berdua dalam berhubungan. Terlebih lagi jika hanya dengan itu ia merasakan kepuasan ketimbang ia terjatuh didalam perzinahan.

Mufti Saudi Arabia bagian Selatan, Asy-Syaikh Al`Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi berpendapat bahwa isapan istri terhadap kemaluan suaminya (oral seks) adalah haram dikarenakan kemaluannya itu bisa memancarkan cairan (madzi). Para ulama telah bersepakat bahwa madzi adalah najis. Jika ia masuk kedalam mulutnya dan tertelan sampai ke perut maka akan dapat menyebabkan penyakit.

Hal itu dikarenakan yang keluar dari kemaluan adalah madzi dan mani. Madzi adalah cairan berwarna putih dan halus yang keluar dari kemaluan ketika adanya ketegangan syahwat, hukumnya najis. Sedangkan mani adalah cairan kental memancar yang keluar dari kemaluan ketika syahwatnya memuncak, hukumnya menurut para ulama madzhab Hanafi dan Maliki adalah najis sedangkan menurut para ulama Syafi’i dan Hambali adalah suci.

Adapun Syeikh Yusuf al Qaradhawi memberikan fatwa bahwa oral seks selama tidak menelan madzi yang keluar dari kemaluan pasangannya maka ia adalah makruh dikarenakan hal yang demikian adalah salah satu bentuk kedhaliman (di luar kewajaran dalam berhubungan).


Dampak Positif dan Negatif?


Dampak positif dari oral seks ini jika dilakukan dengan sukarela oleh pasangan suami-istri tentunya akan menambah kenikmatan dalam berhubungan intim dan pada gilirannya dapat menjaga keharmonisan rumah-tangga. Untuk itu pasangan suami-istri harus meng-komunikasi-kan masalah ini dengan baik agar tidak ada pihak yang merasa terpaksa.

Para seksolog meng-kategori-kan oral seks kedalam permainan seks yang aman, selama betul-betul dijamin kebersihan dan kesehatannya, baik mulut ataupun kemaluannya. Akan tetapi kemungkinan untuk terjangkitnya berbagai penyakit mana kala tidak ekstra hati-hati di dalam menjaga kebersihannya sangatlah besar. (Dari berbagai sumber)

Dari:
dr. Agus Rahmadi, Klinik Sehat, Berhubungan Oral Suami-Istri, http://www.eramuslim.com/konsultasi/sehat/berhubungan-oral-suami-istri.htm, Diakses pada hari: Minggu, 25 Oktober 2009

0 comments: