Friday, November 20, 2009

Waktu Subuh Yang Bikin Ricuh

Keresahan itu muncul di Yogja, ketika di masyarakat beredar selebaran mengenai jadwal waktu Subuh yang dianggap menyesatkan. Selebaran yang merupakan fotokopi-an artikel yang dimuat Majalah Qiblati Agustus lalu itu dinilai memprovokasi dan memecah belah umat. Isi selebaran tersebut menjelaskan, waktu awal Subuh yang selama ini digunakan sebagian besar umat Islam di Indonesia dikatakan terlalu cepat 25 menit sehingga belum masuk waktu Subuh yang sebenarnya.

Kabarnya sudah ada beberapa masjid di Banjarmasin yang mengikuti selebaran itu, yang memundurkan waktu shalat Subuh hingga 25 menit. Sebut saja Masjid Al-Jihad, Masjid Ar-Rahim, Masjid At-Tanwir, Masjid Baitul dan Hikmah. Sehubungan dengan itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi Daerah Istimewa Yogjakarta segera menggelar sidang (21/8). Sidang merumuskan bahwa jadwal shalat yang beredar di masyarakat Muslim, yang dikeluarkan Pemerintah (Cq. Departemen Agama RI), maupun ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan Nahdaltul Ulama (NU), adalah hasil hitungan para ulama dan ahli syar’i sekaligus juga ahli hisab dan falak.

MUI berpendapat, waktu yang selama ini digunakan umat dalam menjalankan shalat Subuh, sudah sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Umat Islam, khususnya di DI Yogjakarta untuk tidak ragu dan resah menggunakan jadwal tersebut di dalam melaksanakan ibadah shalat, termasuk awal shalat Subuh. MUI juga mengimbau kepada masyarakat untuk tidak saling menyesatkan dan menyalahkan tentang jadwal shalat Subuh. “Masyarakat harus waspada terhadap upaya-upaya yang dapat memecah-belah umat Islam,” ungkap Ketua MUI DIY H.M. Thoha Abdurrahman.

Polemik seputar “salah kaprah” waktu Subuh mulanya mencuat di Majalah Qiblati secara berseri (Edisi 8-10 Volume 4) -- majalah yang diterbitkan kelompok Salafy. Dalam mukaddimah-nya, majalah itu menerangkan perjalanan yang dilakukan Pemimpin Redaksi (Pemred) Qiblati, Agus Hasan Bashori bersama Syaikh Mamduh Farhan Al-Buhairi dari Malang ke Jember, Jawa Timur, Sabtu (21 Februari 2009), dan ditemani dua orang laki-laki bernama Terang dan Shalahuddin. Sebelum Subuh, mereka sudah start menuju Jember.

Baru sampai di Lawang, mereka mendengar suara adzan Subuh. Waktu itu jam di mobil menunjukkan pukul 04.20-an. Saat Pemred Qiblati ajak menepi untuk shalat, Syaikh Mamduh berkata: “Kita ini kan musafir, kalau kita boleh memilih, maka aku suka shalat di depan sana saja, lagi pula waktu subuh belum masuk.”

Setelah masuk Pasuruan (pukul 04.45) mereka baru singgah di sebuah masjid untuk shalat Subuh (sementara para jamaah sudah selesai wiridan dan mulai tadarus al-Qur'an). Usai shalat, perjalanan dilanjutkan. Dalam perjalanan, mereka mendiskusikan masalah seputar waktu Subuh. Hasil diskusi inilah, yang mendorong Qiblati memuat artikel yang ditulis oleh Syaikh Mamduh secara berseri.

Pemred Qiblati menjelaskan, diturunkannya artikel ini dimaksudkan untuk memberikan pencerahan kepada kaum Muslimin tentang agama dan shalat mereka mengingat penting dan seriusnya masalah ini. ”Harapannya adalah agar setiap Muslim memahami masalah ini, kemudian serius mengkaji dan menelaah serta mencoba memberikan dan mencarikan solusi, sehingga pada akhirnya kita bisa menjalankan kewajiban shalat Subuh dengan hati tenang, sesuai dengan syariat, menjalankan amalan yang sah dan diterima di sisi Allah,”ungkap Pemred.

Qiblati menyarankan agar dibentuk sebuah kelompok kerja yang terdiri dari ulama dan pakar astronomi (hisab) untuk meneliti ulang penentuan waktu shalat yang ada dalam sistem penanggalan. Syaikh Mamduh menasihatkan kepada para muadzin untuk mengakhirkan adzan Subuh, begitu pula mengakhirkan iqamah sebisa mungkin. “Kami nasihatkan kepada para imam dan muadzin untuk mengenal dan mengetahui fajar shadiq sebagaimana disebutkan dalam sunnah Nabi, dan jangan sampai mereka menanggung batalnya shalat kaum Muslimin.”

Syaikh Mamduh juga meminta kepada kaum wanita dan orang-orang sakit yang shalat di rumah, agar tidak menjadikan adzan di masjid-masjid (sekarang) sebagai ukuran masuknya waktu, tetapi hendaknya mengakhirkan hingga selesainya jamaah di masjid-masjid, kira-kira 25 menit sesudah adzan. ”Kami nasihatkan saudara-saudara yang tidak mau ikut shalat berjamaah di masjid-masjid (sekarang) untuk tetap menetapi jamaah dan nasihat dengan penuh adab dan ketenangan, karena dosa akan dipikul pihak-pihak yang bertanggungjawab, begitu pula pada pundak-pundak muadzin dan imam di setiap masjid,” tukas Syaikh Mamduh.

Sementara itu, pihak Qiblati mengaku telah mengirimkan surat ke Depag RI Pusat (Menteri Agama), MUI Pusat dan MUI Propinsi se-Indonesia, ormas-ormas Islam (NU, MUhammadiyah dan Persis) sejumlah 46 surat, pada tanggal 31 Juli 2009, yang isinya: permohonan pengkajian ulang waktu shalat Subuh. Dalam surat tersebut dilampirkan tiga makalah fajar dan satu eksemplar majalah Qiblati edisi 11 tahun 4 yang memuat 6 makalah terkait fajar.

Ketika dikonfirmasi Sabili, pihak MUI mengaku belum pernah menerima surat yang dikirim pihak Qiblati. “Biasanya, kalau ada surat masuk yang menyangkut persoalan umat, kami akan bahas di Komisi Pengkajian. Tapi hingga saat ini surat itu belum kami terima. Yang jelas, MUI selalu terbuka jika ada pihak-pihak yang menginginkan dialog,” kata pengurus, MUI Ustadz Asrorun Ni’am.

Menurut Ni’am, segala sesuatu harus diserahkan pada ahlinya. Dalam kaitan ini harus melibatkan ahli astronomi, dan badan hisab/rukyat, termasuk ormas Islam. Dalam memutuskan fatwa, ihwal waktu Subuh, seyogianya tidak disampaikan secara provokatif, tapi harus dengan keilmuan (akademik). Waktu Subuh yang dilakukan umat Islam, sudah tepat, karena telah melibatkan para ahlinya,” kata Ni’am.


Polemik Fajar Shadiq

Berikut penuturan Syaikh Mamduh yang dimuat dalam Qiblati, ”Hati ini menjadi sedih, ketika melihat negara-negara Islam semuanya tanpa kecuali, ternyata tidak melaksanakan shalat Subuh tepat pada waktunya. Mereka shalat sebelum masuk waktunya. Tentu saja sangat disayangkan. Dalam hal ini antara negara yang satu dengan yang lain berbeda dalam tingkat kesalahan seputar waktu Subuh.”

Berdasarkan pengamatan dan penelitian Syaikh Mamduh, ia menemukan bahwa azan Subuh dikumandangkan sebelum waktunya, berkisar antara sembilan hingga 28 menit. Dan sangat disayangkan lagi, Indonesia (secara umum) termasuk negara yang paling jauh dari waktu sebenarnya, yakni mengumandangkan adzan 24 menit sebelum munculnya fajar shadiq.

Sesungguhnya jadwal waktu shalat yang dipakai sekarang ini di hampir semua negara Islam, kata Syaikh Mamduh, diambil dari penanggalan Mesir yang dibuat oleh seorang insinyur Inggris pada saat penjajahan Inggris atas Mesir. Insinyur ini ingin membuat penanggalan untuk penentuan waktu di Mesir. Ia bersama beberapa guru besar dari Al-Azhar berkumpul di Padang Sahara Jizah, kemudian dari tempat itu, berdasarkan letak garis bujur dan garis lintang dan perhitungan waktu Greenwich, dibuatlah penentuan waktu harian, di antaranya adalah waktu shalat.

Orang-orang Mesir sendiri waktu itu mengakui bahwa penentuan waktu tersebut menyelisihi waktu-waktu shalat yang dipakai pada masa Muhammad Ali Basya dan Turki Utsmaniyah, yang mengandalkan bayangan (matahari) dan analoginya serta berdasarkan terbitnya fajar shadiq.

Menurut Syaikh Mamduh, penanggalan Mesir yang dibuat tersebut tidak dihitung berdasarkan penentuan waktu shalat yang benar, melainkan berdasarkan perhitungan garis lintang dan garis bujur yang sekarang ini diberlakukan secara luas (umum) pada setiap negara. Sebagian besar negeri Muslim, kata Mamduh, melaksanakan shalat Subuh di waktu fajar kadzib (Zodiacal Light), yakni pada waktu masih gelap di akhir malam.

”Sepengetahuan saya, tidak ada satu negara pun melainkan memakai perhitungan dengan cara ini. Termasuk yang paling mengherankan adalah negara-negara ini mengakhirkan (menunda) shalat dari setelah adzan lima menit untuk shalat maghrib hingga dua puluh lima menit untuk shalat-shalat yang lain. Itu dilakukan agar kesalahan penentuan waktu bisa sedikit dihindari. Tentu ini tertolak, karena masuknya waktu berdasarkan perintah syariat adalah adzan, bukan iqamah,” ujar Mamduh.

Para ulama sepakat, syarat terpenting bagi sahnya shalat adalah masuknya waktu. Para ulama fiqih menyatakan bahwa siapa yang ragu tentang masuknya waktu shalat, maka ia tidak boleh melakukan shalat hingga ia benar-benar yakin bahwa waktunya telah masuk.

Menurut Ibn Mandzur, Al-Fajr adalah "Cahaya Subuh", yaitu semburat merah di gelapnya malam karena sinar matahari. Ada dua fajar, yang pertama adalah meninggi (mustathil) seperti ekor serigala hitam (sirhan), dan yang kedua adalah yang melebar (memanjang, mustathir) disebut fajar shadiq, yaitu menyebar di ufuk, yang mengharamkan makan dan minum bagi orang yang berpuasa. Subuh tidak masuk kecuali pada fajar shadiq ini."

Kata Al-Fajr dalam bahasa Arab dimaksudkan awal terangnya siang hari, dan bahwa fajar itu ada dua, yang pertama fajar kadzib, dan fajar shadiq. Dengan mengenal kedua fajar ini, telah menetapkan hukum syariat seperti menahan diri dari makan dan minum bagi orang yang puasa, serta awal waktu shalat, serta shalat sunnah Subuh, yaitu fajar shadiq.

Beberapa dalil yang diungkapkan Qiblati, diantaranya adalah Ibn Jarir dalam Tafsir At-Thabari (2/167). Dijelaskan, "Sifat sinar Subuh yang terang itu, ia menyebar dan meluas di langit, sinarnya (terangnya) dan cahayanya memenuhi dunia hingga memperlihatkan jalan-jalan menjadi jelas."

Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan, "Para ulama menyebutkan bahwa antara fajar kadzib dan fajar shadiq ada tiga perbedaan: Pertama, Fajar Kadzib mumtad (memanjang) tidak mu'taridh (menghadang); Mumtad maksudnya memanjang dari timur ke barat. Sedangkan fajar shadiq melebar dari utara ke selatan. Kedua, Fajar kadzib masih gelap, artinya cahaya fajar ini sebentar kemudian gelap lagi. Sedangkan fajar shadiq tidak dalam keadaan gelap, bahkan semakin lama semakin terang cahayanya (karena merupakan awal siang). Ketiga, Fajar shadiq bersambung dengan ufuk, tidak ada kegelapan antara fajar ini dengan ufuk. Sedangkan fajar pertama, terputus dari ufuk, ada kegelapan antara fajar kadzib dan ufuk.

Dikatakan bid’ah, diungkap Majalah Qiblati dengan mengutip Ibn Hajar: "Termasuk bid'ah munkar adalah apa yang diada-adakan di zaman ini, berupa mengumandangkan adzan kedua sekitar 1/3 jam (20 menit) sebelum waktu fajar di bulan Ramadhan, mematikan lampu-lampu yang menjadi tanda haramnya makan dan minum bagi siapa yang hendak puasa, mereka mengaku bahwa hal ini dilakukan untuk kehati-hatian dalam ibadah, dan tidak mengetahui hal ini kecuali sedikit saja dari manusia." (Fathulbari, 4/199).

Ringkasnya, ungkap Syaikh Mamduh, mendahulukan waktu adzan subuh sekarang ini merupakan bencana umum yang menimpa umat karena keterikatan dengan penanggalan yang di luar kemampuan mereka. Sekiranya umat ini memiliki kekuasaan (untuk membuatnya), tentu kejadian ini merupakan sesuatu yang didasarkan pada kesalahan dalam penentuan masuknya waktu fajar shadiq.

Sesungguhnya adzan sebelum masuknya waktu subuh (terbitnya fajar shadiq) menyebabkan banyak kerusakan (efek negatif), di antaranya: Kebanyakan jamaah, menyegerakan dalam melaksanakan shalat sunnah fajar sebelum waktunya; Bersegera dalam makan sahur, tentu ini menyelisihi sunnah Nabi saw. Tegasnya, shalat kaum Muslimin selama ini masuk dalam kategori batal (tidak sah). Demikian Qiblati.

Menanggapai polemik tersebut, Ketua Komisi Pengkajian MUI Amin Jamaluddin menegaskan, kita harus tahu lebih dulu siapa itu Syaikh Mamduh. Apakah dia seorang yang ahli di bidangnya atau bukan. Karena hal ini harus dijawab dengan keilmuan.

Sejak awal MUI sudah mengingatkan agar mewaspadai terhadap upaya-upaya yang dapat memecah belah umat Islam. Umat hendaknya tidak resah dan ragu menggunakan jadwal di dalam melaksanakan ibadah shalat, termasuk awal shalat Subuh. Maka sudahi saja polemik ini di kalangan kaum Muslimin. Yang salah adalah mereka tidak melaksanakan shalat Subuh.

Dari:
Waktu Shubuh yang Bikin Ricuh, Adhes Satria, www.sabili.co.id, http://www.sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1020:waktu-subuh-yang-bikin-ricuh&catid=82:inkit&Itemid=199, Diakses pada hari: Jum'at, 19 November 2009
SABILI
Adhes Satria

Al-Shabab Hukum Rajam Seorang Wanita Hingga Mati

Seorang janda wanita berumur 20 tahun di Somalia dihukum rajam dengan dilempari batu hingga meninggal. Hukuman ini dilaksanakan pemerintah Islam Somalia di depan 200 penduduk yang turut menyaksikan.

Hakim dari Al Shabab mengatakan ia memutuskan hukuman rajam tersebut setelah wanita itu terbukti melakukan hubungan zina dengan seorang pria berusia 29 tahun yang belum beristri.

Ini adalah wanita kedua yang dijatuhi hukuman rajam hingga meninggal karena perzinahan oleh pemerintah Shabab. Hakim menjelaskan bahwa wanita ini telah melahirkan bayinya hasil perzinahannya. Dan pasangan zinanya tadi juga sudah dijatuhi hukuman dera (cambuk) 100 kali.

Menurut penuturan penduduk setempat di desa kecil dekat kota Wajid, 250 mil (400 km) sebelah barat-daya ibukota Mogadishu, wanita tersebut dikubur dari kaki hingga ke pinggang sebelum hukuman rajam dilaksanakan.

Wanita ini mulai dihukum rajam hingga meninggal di depan kerumunan warga pada Selasa sore kemarin.

Al Shabab sudah menguasai sebagian besar wilayah selatan Somalia. Di wilayah kekuasaannya itu mereka dapat menegakkan Syariat Islam.

Hakim perkara ini, Syeikh Ibrahim Abdurrahman, mengatakan pacarnya yang belum menikah juga dijatuhi hukuman dera (cambuk) sebanyak 100 kali.

Menurut hukum Islam yang diterapkan Al Shabab, siapa saja yang pernah menikah, maupun sudah bercerai, kemudian mempunyai hubungan tidak sah (tanpa menikah) maka dia dinyatakan bersalah telah melakukan perzinahan, dan hukumannya dirajam hingga mati. Sedang pezina yang belum menikah akan mendapatkan hukuman cambuk sebanyak 100 kali.

Dalam satu tahun ini, pelaksanaan hukuman rajam hingga mati ini merupakan yang keempat kalinya. Awal bulan ini seorang pria juga dihukum rajam hingga mati karena perzinahan, hukuman dilakukan di kota pelabuhan Merka, selatan Mogadishu.

Pacarnya yang mengandung diberi waktu sampai melahirkan, setelah itu baru dilaksanakan hukuman.

Bulan lalu dua pria juga dihukum mati di kota Merka karena menjadi mata-mata musuh.(voa/bbc/sbl)

Dari:
Al-Shabab Hukum Rajam Seorang Wanita Hingga Mati, www.sabili.co.id, http://www.sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1023:al-shabab-hukum-rajam-seorang-wanita-hingga-mati&catid=81:internasional&Itemid=198, Diakses pada hari: Jum'at, 19 November 2009

Sunday, October 25, 2009

Hukum Onani

Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama dalam permasalahan onani:

1. Para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Zaidiyah berpendapat bahwa onani adalah haram. Argumentasi mereka akan pengharaman onani ini adalah bahwa Allah SWT telah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam segala kondisi kecuali terhadap istri dan budak perempuannya. Apabila seseorang tidak melakukannya terhadap kedua orang itu kemudian melakukan onani maka ia termasuk kedalam golongan orang-orang yang melampaui batas-batas dari apa yang telah dihalalkan Allah bagi mereka dan beralih kepada apa-apa yang diharamkan-Nya atas mereka.

Firman Allah SWT yang artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu. Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Mukminun: 5-7)

2. Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa onani hanya diharamkan dalam keadaan-keadaan tertentu dan wajib pada keadaan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa onani menjadi wajib apabila ia takut jatuh kepada perzinahan jika tidak melakukannya. Hal ini juga didasarkan pada kaidah mengambil kemudharatan yang lebih ringan. Namun mereka mengharamkan apabila hanya sebatas untuk bersenang-senang dan membangkitkan syahwatnya. Mereka juga mengatakan bahwa onani tidak masalah jika orang itu sudah dikuasai oleh syahwatnya sementara ia tidak memiliki istri atau budak perempuan demi menenangkan syahwatnya.

3. Para ulama madzhab Hambali berpendapat bahwa onani itu diharamkan kecuali apabila dilakukan karena takut dirinya jatuh ke dalam perzinahan atau mengancam kesehatannya sementara ia tidak memiliki istri atau budak serta tidak memiliki kemampuan untuk menikah, jadi onani tidaklah masalah.

4. Ibnu Hazm berpendapat bahwa onani itu makruh dan tidak ada dosa di dalamnya karena seseorang yang menyentuh kemaluannya dengan tangan kirinya adalah boleh menurut ijma seluruh ulama… sehingga onani itu bukanlah suatu perbuatan yang diharamkan. Firman Allah SWT yang artinya: “Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.” (QS Al-An’am: 119)

Dan onani tidaklah diterangkan kepada kita tentang keharamannya maka ia adalah halal sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS Al-Baqarah: 29)

5. Di antara ulama yang berpendapat bahwa onani itu makruh adalah Ibnu Umar dan Atho’. Hal itu dikarenakan bahwa onani bukanlah termasuk dari perbuatan yang terpuji dan bukanlah perilaku yang mulia. Ada cerita bahwa manusia pada saat itu pernah berbincang-bincang tentang onani maka ada sebagian mereka yang memakruhkannya dan sebagian lainnya membolehkannya.

6. Di antara yang membolehkannya adalah Ibnu Abbas, Al-Hasan dan sebagian ulama tabi’in yang masyhur. Al-Hasan mengatakan bahwa dahulu mereka melakukannya saat dalam peperangan. Mujahid mengatakan bahwa orang-orang terdahulu memerintahkan para pemudanya untuk melakukan onani untuk menjaga kesuciannya. Begitu pula hukum onani seorang wanita sama dengan hukum onani seorang laki-laki. (Fiqhus Sunnah, Juz III hal 424-426)

Dari pendapat-pendapat para ulama di atas tidak ada dari mereka yang secara tegas menyatakan bahwa onani sama dengan zina yang sesungguhnya. Namun para ulama mengatakan bahwa perbuatan tersebut termasuk ke dalam muqoddimah zina (pendahuluan zina), firman Allah SWT yang artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al Israa: 32)

Adapun apakah perbuatan tersebut termasuk kedalam dosa besar? Imam Nawawi menyebutkan beberapa pendapat ulama tentang batasan dosa besar jika dibedakan dengan dosa kecil. Ibnu Abbas menyebutkan bahwa dosa besar adalah segala dosa yang Allah akhiri dengan neraka, kemurkaan, laknat atau adzab. Demikian pula pendapat Imam Al-Hasan Bashri. Ulama lainnya mengatakan bahwa dosa besar adalah dosa yang diancam Allah SWT dengan neraka atau hadd di dunia. Abu Hamid Al-Ghozali di dalam “Al-Basiith” mengatakan bahwa batasan menyeluruh dalam hal dosa besar adalah segala kemaksiatan yang dilakukan seseorang tanpa ada perasaan takut dan penyesalan, seperti orang yang menyepelekan suatu dosa sehingga menjadi kebiasaan. Setiap penyepelean dan peremehan suatu dosa maka ia termasuk ke dalam dosa besar…. Asy-Syeikhul Imam Abu ‘Amr bin Sholah di dalam “Al-Fatawa Al-Kabiroh” menyebutkan bahwa setiap dosa yang besar atau berat maka bisa dikatakan bahwa itu adalah dosa besar. Adapun di antara tanda-tanda dosa besar adalah wajib atasnya hadd, diancam dengan siksa neraka dan sejensnya sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Para pelakunya pun disifatkan dengan fasiq berdasarkan nash, dilaknat sebagaimana Allah swt melaknat orang yang merubah batas-batas tanah. (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi, Juz II hal. 113)

Dari beberapa definisi dan tanda-tanda dosa besar maka perbuatan onani tidaklah termasuk ke dalam dosa besar selama tidak dilakukan secara terus-menerus atau menjadi suatu kebasaan. Hendaknya seorang muslim tidak berfikir kecilnya dosa suatu kemasiatan yang dilakukannya akan tetapi terhadap siapa dia bermaksiat, tentunya terhadap Allah SWT Yang Maha Besar Lagi Maha Mulia.

Adapun mengeluarkan mani dengan menonton film-film porno maka ini lebih berat dari sekedar onani dikarenakan ia telah menyaksikan aurat orang lain yang tidak halal baginya. Pada hakekatnya melihat aurat orang lain melalui menonton film porno sama dengan melihat auratnya secara langsung dan ini adalah haram.

Wallahu A’lam

Dari:

Ustadz Sigit Pranowo, Lc., Ustadz Menjawab, Hukum Onani/Masturbasi, http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/apakah-onani-manstrubasi-termasuk-dosa-besar.htm, Diakses pada hari: Minggu, 25 Oktober 2009

Saturday, October 24, 2009

Hukum Oral Seks Suami-Istri

Tidak sedikit masyarakat muslim yang mempertanyakan tentang halal dan tidaknya jima' atau berhubungan suami-istri dengan cara oral. Mitos yang banyak berkembang selama ini, melakukan hubungan dengan cara memasukkan alat kelamin ke dalam mulut pasangan itu dianggap sama seperti kelakuan orang kafir, sehingga hukumnya haram. Benarkah?

Ibnu Taymiyyah berpendapat, selain ciuman dan rayuan, unsur penting lain dalam pemanasan adalah sentuhan mesra. Bagi pasangan suami-istri, seluruh bagian tubuh adalah obyek yang HALAL untuk disentuh, termasuk kemaluan. Terlebih jika dimaksudkan sebagai penyemangat jima’.

Nashirudin Al-Albani, mengutip perkataan Ibnu Urwah Al-Hanbali dalam kitabnya yang masih berbentuk manuskrip, Al-Kawakbu Ad-Durari, “Diperbolehkan bagi suami-istri untuk melihat dan meraba seluruh lekuk tubuh pasangannya, termasuk kemaluan. Karena kemaluan merupakan bagian tubuh yang boleh dinikmati dalam bercumbu, tentu boleh pula dilihat dan diraba. Diambil dari pandangan Imam Malik dan ulama lainnya.”

Berkat kebesaran Allah, setiap bagian tubuh manusia memiliki kepekaan dan rasa yang berbeda saat disentuh atau dipandangi. Maka, untuk menambah kualitas jima’, suami-istri juga diperbolehkan pula menanggalkan seluruh pakaiannya. Dari Aisyah RA, ia menceritakan, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah dalam satu bejana.…” (HR Bukhari dan Muslim)

Untuk mendapatkan hasil sentuhan yang optimal, seyogyanya suami-istri mengetahui dengan baik titik-titik yang mudah membangkitkan gairah pasangan masing-masing. Maka diperlukan sebuah komunikasi terbuka dan santai antara pasangan suami istri untuk menemukan titik-titik tersebut, agar menghasilkan efek yang maksimal saat berjima’.

Satu hal lagi yang menambah kenikmatan dalam hubungan intim suami-istri, yaitu posisi bersetubuh. Kebetulan Islam sendiri memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada pemeluknya untuk mencoba berbagai variasi posisi dalam berhubungan seks. Satu-satunya ketentuan yang diatur syariat hanyalah, semua posisi seks itu tetap dilakukan pada satu jalan, yaitu farji (vagina) dan bukan yang lainnya. Allah SWT berfirman, “Istri-istrimu adalah tempat bercocok tanammu, datangilah ia dari arah manapun yang kalian kehendaki.” QS Al-Baqarah (2:223)

Demikian halnya dengan Sheikh Muhammad Ali Al-Hanooti, Mufty, dalam www.islamawarness.net menegaskan bahwa oral sex diperbolehkan dalam Islam. Ali Al-Hanooti menegaskan bahwa yang diharamkan dalam jima' hanya ada tiga hal, di antaramya: Anal seks, berhubungan seks saat istri sedang haid atau menstruasi dan seks pasca istri melahirkan (masa nifas). Sedangkan di luar ketiga hal itu, hukumnya halal.

Hal yang sama juga diungkapkan Ustadz Sigit Pranowo, Lc. di www.eramuslim.com. Dalam sebuah kajian konsultasi yang membahas tentang oral seks, Sigit mengatakan bahwa hubungan seksual antara pasangan suami-istri bukanlah hal yang terlarang untuk dibicarakan di dalam Islam. Namun, bukan pula hal yang dibebaskan sedemikian rupa bak layaknya seekor hewan yang berhubungan dengan sesamanya.

Islam adalah agama fitrah yang sangat memperhatikan masalah seksualitas karena ini adalah kebutuhan setiap manusia sebagaimana firman Allah SWT,”Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (QS Al Baqarah: 223)

Ayat di atas menunjukkan betapa islam memandang seks sebagai sesuatu yang moderat sebagaimana karakteristik dari islam itu sendiri. Ia tidaklah dilepas begitu saja sehingga manusia bisa berbuat sebebas-bebasnya dan juga tidak diperketat sedemikian rupa sehingga menjadi suatu pekerjaan yang membosankan.

Hubungan seks yang baik dan benar, yang tidak melanggar syariat selain merupakan puncak keharmonisan suami istri serta penguat perasaan cinta dan kasih sayang di antara mereka berdua maka ia juga termasuk suatu ibadah di sisi Allah SWT sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ”...dan bersetubuh dengan istri juga sedekah. Mereka bertanya, ’Wahai Rasulullah apakah jika di antara kami menyalurkan hasrat biologisnya (bersetubuh) juga mendapat pahala?’ Beliau menjawab, ’Bukankah jika ia menyalurkan pada yang haram itu berdosa? Maka demikian pula apabila ia menyalurkan pada yang halal, maka ia juga akan mendapatkan pahala.” (HR Muslim)

Di antara variasi seksual yang sering dibicarakan para seksolog adalah oral seks, yaitu adanya kontak seksual antara kemaluan dan mulut (lidah) pasangannya. Tentunya ada bermacam-macam oral seks ini, dari mulai menyentuh, mencium hingga menelan kemaluan pasangannya ke dalam mulutnya.

Hal yang tidak bisa dihindari ketika seorang ingin melakukan oral seks terhadap pasangannya adalah melihat dan menyentuh kemaluan pasangannya. Dalam hal ini para ulama dari madzhab yang empat bersepakat diperbolehkan bagi suami untuk melihat seluruh tubuh istrinya hingga kemaluannya karena kemaluan adalah pusat kenikmatan. Akan tetapi setiap dari mereka berdua dimakruhkan melihat kemaluan pasangannya terlebih lagi bagian dalamnya tanpa suatu keperluan, sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah yang mengatakan,”Aku tidak pernah melihat kemaluannya SAW dan beliau SAW tidak pernah memperlihatkannya kepadaku.” (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Juz IV hal. 2650)

Seorang suami berhak menikmati istrinya, khususnya bagaimana dia menikmati berjima’ dengannya dan seluruh bagian tubuh istrinya dengan suatu kenikmatan atau menguasai tubuh dan jiwanya yang menjadi haknya untuk dinikmati maka telah terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama kami, karena tujuan dari berjima’ tidaklah sampai kecuali dengan hal yang demikian. (Bada’iush Shona’i, Juz VI hal. 157-159, Maktabah Syamilah)

Setiap pasangan suami-istri yang diikat dengan pernikahan yang sah di dalam berjima’ diperbolehkan untuk saling melihat setiap bagian dari tubuh pasangannya hingga kemaluannya. Adapun hadits yang menyebutkan bahwa siapa yang melihat kemaluan (istrinya) akan menjadi buta adalah hadits munkar yang tidak ada landasannya. (Asy-Syarhul Kabir Lisy Syeikh Ad-Durdir, Juz II hal. 215, Maktabah Syamilah)

Dibolehkan bagi setiap pasangan suami-istri untuk saling melihat seluruh tubuh dari pasangannya serta menyentuhnya hingga kemaluannya sebagaimana diriwayatkan dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya berkata,” Aku bertanya, ’Wahai Rasulullah aurat-aurat kami mana yang ditutup dan mana yang kami biarkan? Beliau bersabda, ’Jagalah aurat kamu kecuali terhadap istrimu dan budak perempuanmu.” (HR. tirmidzi, dia berkata,”Ini hadits Hasan Shohih.”) Karena kemaluan boleh untuk dinikmati maka ia boleh pula dilihat dan disentuhnya seperti bagian tubuh yang lainnya.

Didalam riwayat Ja’far bin Muhammad tentang perempuan yang duduk di hadapan suaminya di dalam rumahnya dengan menampakkan auratnya yang hanya mengenakan pakaian tipis, Imam Ahmad mengatakan, ”Tidak mengapa.” (Al-Mughni, Juz XV hal. 79, Maktabah Syamilah)

Oral seks yang merupakan bagian dari suatu aktivitas seksual ini, menurut Prof. DR Ali Al-Jumu’ah dan Dr. Sabri Abdur Rauf (Ahli Fiqih Univ. Al-Azhar) boleh dilakukan oleh pasangan suami-istri selama hal itu memang dibutuhkan untuk menghadirkan kepuasan mereka berdua dalam berhubungan. Terlebih lagi jika hanya dengan itu ia merasakan kepuasan ketimbang ia terjatuh didalam perzinahan.

Mufti Saudi Arabia bagian Selatan, Asy-Syaikh Al`Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi berpendapat bahwa isapan istri terhadap kemaluan suaminya (oral seks) adalah haram dikarenakan kemaluannya itu bisa memancarkan cairan (madzi). Para ulama telah bersepakat bahwa madzi adalah najis. Jika ia masuk kedalam mulutnya dan tertelan sampai ke perut maka akan dapat menyebabkan penyakit.

Hal itu dikarenakan yang keluar dari kemaluan adalah madzi dan mani. Madzi adalah cairan berwarna putih dan halus yang keluar dari kemaluan ketika adanya ketegangan syahwat, hukumnya najis. Sedangkan mani adalah cairan kental memancar yang keluar dari kemaluan ketika syahwatnya memuncak, hukumnya menurut para ulama madzhab Hanafi dan Maliki adalah najis sedangkan menurut para ulama Syafi’i dan Hambali adalah suci.

Adapun Syeikh Yusuf al Qaradhawi memberikan fatwa bahwa oral seks selama tidak menelan madzi yang keluar dari kemaluan pasangannya maka ia adalah makruh dikarenakan hal yang demikian adalah salah satu bentuk kedhaliman (di luar kewajaran dalam berhubungan).


Dampak Positif dan Negatif?


Dampak positif dari oral seks ini jika dilakukan dengan sukarela oleh pasangan suami-istri tentunya akan menambah kenikmatan dalam berhubungan intim dan pada gilirannya dapat menjaga keharmonisan rumah-tangga. Untuk itu pasangan suami-istri harus meng-komunikasi-kan masalah ini dengan baik agar tidak ada pihak yang merasa terpaksa.

Para seksolog meng-kategori-kan oral seks kedalam permainan seks yang aman, selama betul-betul dijamin kebersihan dan kesehatannya, baik mulut ataupun kemaluannya. Akan tetapi kemungkinan untuk terjangkitnya berbagai penyakit mana kala tidak ekstra hati-hati di dalam menjaga kebersihannya sangatlah besar. (Dari berbagai sumber)

Dari:
dr. Agus Rahmadi, Klinik Sehat, Berhubungan Oral Suami-Istri, http://www.eramuslim.com/konsultasi/sehat/berhubungan-oral-suami-istri.htm, Diakses pada hari: Minggu, 25 Oktober 2009

Friday, October 23, 2009

Hukum Menonton Film Porno

Allah SWT telah memerintahkan orang-orang beriman untuk menjaga pandangan dari melihat aurat atau kehormatan orang lain, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. An-Nuur: 30-31:

Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Q.S. An Nuur: 30-31)

Senada dengan ayat di atas, Nabi SAW juga telah melarang seseorang melihat aurat orang lain walaupun seorang laki-laki terhadap laki-laki yang lain atau seorang wanita terhadap wanita yang lain baik dengan syahwat maupun tanpa syahwat, sebagaimana sabdanya saw,”Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki (lain) dan janganlah seorang wanita melihat aurat wanita (lain). Janganlah seorang laki-laki berada dalam satu selimut dengan laki-laki lain dan janganlah seorang wanita berada dalam satu selimut dengan wanita lain.” (HR. Al Baihaqi)

Di dalam film-film porno, batas-batas aurat atau bahkan inti dari aurat seseorang diperlihatkan dan dipertontonkan kepada orang-orang yang tidak halal melihatnya, ini merupakan perbuatan yang diharamkan baik orang yang mempertontokan maupun yang menontonnya.

Untuk itu tidak diperbolehkan bagi seseorang menyaksikan film porno walaupun dengan alasan belajar tentang cara-cara berhubungan atau menghilangkan kelemahan syahwatnya karena untuk alasan ini tidak mesti dengan menyaksikan film tersebut akan tetapi bisa dengan cara-cara lainnya yang didalamnya tidak ditampakkan aurat orang lain, seperti buku-buku agama yang menjelaskan tentang seks, buku-buku fiqih tentang pernikahan atau mungkin buku-buku umum tentang seks yang bebas dari penampakan aurat seseorang di dalamnya.

Meskipun tidak ada nash yang jelas yang secara tegas memberikan hukuman (hadd) kepada orang yang menyaksikan atau melihat aurat orang asing, atau melaknat maupun mengancamnya dengan siksa neraka yang bisa memasukkan perbuatan itu kedalam dosa besar seperti yang disebutkan Imam Nawawi bahwa di antara tanda-tanda dosa besar adalah wajib atasnya hadd, diancam dengan siksa neraka dan sejenisnya sebagaimana disebutkan di dalam Al Qur’an maupun Sunnah. Para pelakunya pun disifatkan dengan fasiq berdasarkan nash, dilaknat sebagaimana Allah SWT melaknat orang yang merubah batas-batas tanah. (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi juz II hal 113)

Atau yang disebutkan oleh Izzuddin bin Abdul Aziz bin Abdus Salam bahwa sebagian ulama mengatakan dosa-dosa besar adalah segala dosa yang disertai dengan ancaman atau hadd (hukuman) atau laknat. (Qawaidul Ahkam Fii Mashalihil Anam juz I hal 32)

Akan tetapi apabila perbuatan itu dilakukan tanpa ada perasaan takut kepada Allah swt, penyesalan atau bahkan menyepelekannya sehingga menjadi sesuatu yang sering dilakukannya maka perbuatan itu bisa digolongkan kedalam dosa besar, sebagaimana pendapat dari Abu Hamid al Ghazali didalam “Al Basiith” bahwa batasan menyeluruh dalam hal dosa besar adalah segala kemaksiatan yang dilakukan seseorang tanpa ada perasaan takut dan penyesalan, seperti orang yang menyepelekan suatu dosa sehingga menjadi kebiasaan. Setiap penyepelean dan peremehan suatu dosa maka ia termasuk kedalam dosa besar. (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi juz II hal 113)

Atau disebutkan didalam suatu ungkapan bahwa suatu dosa tidaklah dikatakan kecil apabila dilakukan secara terus menerus dan suatu dosa tidaklah dikatakan besar apabila dibarengi dengan istighfar.


Menonton Film Porno Termasuk Perzinahan

Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh berkata dari Nabi SAW,”Sesungguhnya Allah telah menetapkan terhadap anak-anak Adam bagian dari zina yang bisa jadi ia mengalaminya dan hal itu tidaklah mustahil. Zina mata adalah penglihatan, zina lisan adalah perkataan di mana diri ini menginginkan dan menyukai serta kemaluan membenarkan itu semua atau mendustainya.” (HR. Bukhori)

Imam Bukhori memasukan hadits ini kedalam Bab Zina Anggota Tubuh Selain Kemaluan, artinya bahwa zina tidak hanya terbatas pada apa yang dilakukan oleh kemaluan seseorang saja. Namun zina bisa dilakukan dengan mata melalui pandangan dan penglihatannya kepada sesuatu yang tidak dihalalkan, zina bisa dilakukan dengan lisannya dengan membicarakan hal-hal yang tidak benar dan zina juga bisa dilakukan dengan tangannya berupa menyentuh, memegang sesuatu yang diharamkan.

Ibnu Hajar menyebutkan pendapat Ibnu Bathol yaitu,”Pandangan dan pembicaraan dinamakan dengan zina dikarenakan kedua hal tersebut menuntun seseorang untuk melakukan perzinahan yang sebenarnya. Karena itu kata selanjutnya adalah “serta kemaluan membenarkan itu semua atau mendustainya.” (Fathul Bari juz XI hal 28)


Adakah Hukuman Bagi Orang Yang Menontonnya

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa tidak ada nash yang secara tegas menyebutkan bahwa orang yang melihat atau menyaksikan aurat orang lain, seperti menonton film porno ini dikenakan hukuman (hadd) akan tetapi si pelakunya harus diberikan teguran keras dan tidak ada kewajiban baginya kafarat.

Ibnul Qoyyim mengatakan,”Adapun teguran adalah pada setiap kemaksiatan yang tidak ada hadd (hukuman) dan juga tidak ada kafaratnya. Sesungguhnya kemaksiatan itu mencakup tiga macam:

1. Kemaksiatan yang di dalamnya ada hadd dan kafarat.
2. Kemaksiatan yang di dalamnya hanya ada kafarat tidak ada hadd.
3. Kemaksiatan yang di dalamnya tidak ada hadd dan tidak ada kafarat.

Adapun contoh dari macam yang pertama adalah mencuri, minum khamr, zina dan menuduh orang berzina. Sedangkan contoh dari macam kedua adalah berjima’ pada siang hari di bulan Ramadhan, bersetubuh saat ihram. Dan contoh dari macam yang ketiga adalah menyetubuhi seorang budak yang dimiliki bersama antara dia dan orang lain, mencium orang asing dan berdua-duaan dengannya, masuk ke kamar mandi tanpa mengenakan sarung, memakan daging bangkai, darah, babi dan yang sejenisnya. (I’lamul Muwaqqi’in juz II hal 183)

Wallahu A’lam

Dari:
Ustadz Menjawab, http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/hukum-nonton-film-porno.htm, Diakses pada hari: Jum'at, 23 Oktober 2009

Thursday, October 22, 2009

Jumlah Muslim Dunia

Berdasarkan studi baru dari 200 negara terdapat sekitar 1,57 miliar Muslim yang hidup di dunia saat ini yang merupakan 23 persen dari populasi manusia keseluruhan dengan jumlah total 6,8 miliar manusia.

Indonesia memiliki lebih dari 200 juta warga muslim yang merupakan populasi muslim terbesar di dunia kemudian disusul Pakistan hampir 175 juta dan India diperkirakan memiliki populasi Muslim terbesar ketiga dengan jumlah lebih dari 160 juta jiwa.

Studi baru ini berdasarkan laporan berjudul "Mapping the Global Muslim Population", yang dilakukan Pew Forum on Religion & Public Life, saat ini ada sekitar 1,57 miliar orang Muslim di dunia. Jumlah itu merupakan 23 persen dari total penduduk dunia yang mencapai 6,8 miliar. Berdasarkan proyeksi Database Agama-Agama Dunia 2005, jumlah orang Kristen di dunia sekitar 2,25 miliar.
Sebelumnya diperkiraan populasi Muslim global berkisar 1 milliar sampai 1.8 miliar," menurut pusat riset yang dianalisis lebih dari 1.500 sumber, termasuk laporan sensus, penelitian demografis dan survei populasi umum.


China memiliki lebih banyak penduduk Muslim dibanding Suriah.

Di Rusia orang Muslim lebih besar dari gabungan penduduk Muslim Yordania dan Libya.

Jerman bahkan penduduk Muslimnya lebih banyak dari Lebanon.

Brian Grim, peneliti senior proyek Pew Forum, itu agak terkejut dengan jumlah orang Muslim itu. "Secara keseluruhan, angka itu lebih tinggi dari yang saya perkirakan," katanya seperti dikutip CNN, Kamis. Ia menambahkan, perkiraan awal jumlah populasi orang Muslim di dunia berkisar dari satu miliar hingga 1,8 miliar.


"Laporan itu dapat—dan harus—memiliki implikasi bagi kebijakan AS," kata Reza Aslan, orang Iran-Amerika yang juga penulis buku laris No God but God. "Secara perlahan, persentase pertumbuhan orang-orang Timur Tengah bagi populasi Muslim dunia memang terus bertambah," katanya.


"Ketika isunya menyangkut target yang lebih besar di dunia Muslim, angka ini menunjukkan bahwa target yang lebih besar tidak dapat hanya berfokus secara sempit pada Timur Tengah. Jika maksudnya untuk menciptakan pemahaman yang lebih baik antara AS dan dunia Muslim, fokus kita harus tertuju ke Asia Selatan atau Tenggara, bukan kepada Timur Tengah," kata Aslan.


Dia mengemukakan hal itu sebelum laporan tersebut dipublikasikan dan tidak melihat isinya. Namun, dia familiar dengan kecenderungan umum yang didentifikasi laporan tersebut.


Tim Pew Forum menghabiskan waktu hampir tiga tahun untuk menganalisis data terbaik yang tersedia dari 232 negara dan wilayah. Penelitian itu bermaksud untuk mendapat gambaran komprehensif terbaik tentang populasi Muslim dunia pada waktu tertentu. Mereka mengambil data yang mereka gabungkan dari sensus dan survei nasional dan memproyeksikannya berdasarkan pada apa yang mereka tahu tentang pertambahan penduduk di setiap negara.


Mereka melukiskan hasil laporan itu sebagai 'proyek terbesar di kelasnya saat ini'. Laporan itu penuh dengan rincian yang bahkan mengejutkan para penelitinya sendiri. "Ada sejumlah negara yang kami kira tidak ada orang Muslimnya, dan ternyata negara-negara justru punya penduduk Muslim yang cukup besar," kata Alan Cooperman, direktur rekanan penelitian bagi Pew Forum. Ia menyebut India, Rusia, dan China.


Satu dari lima orang Muslim tinggal di negara di mana orang Muslim adalah minoritas. "Kalau banyak orang berpikir bahwa orang Muslim di Eropa terdiri dari imigran, hal itu hanya benar di Eropa barat. Di bagian lain Eropa, seperti Rusia, Albania, Kosovo, orang Muslim merupakan penduduk asli," kata Cooperman. Ia menambahkan, lebih dari separuh orang Muslim di Eropa adalah penduduk asli.


Para peneliti juga terkejut saat menemukan bahwa populasi Muslim di sub-Sahara Afrika lebih rendah dari yang mereka kira. Hanya ada sekitar 240 juta orang Muslim, atau hanya 15 persen dari total jumlah orang Muslim dunia, di kawasan itu.


Islam sebelumnya diduga bertumbuh cepat di kawasan itu, dengan negara-negara seperti Nigeria, sebagai penyumbang terbesar. Penelitian Pew menyimpulkan, Nigeria hanya punya separuh penduduk Muslim, yang menjadikannya sebagai negara Muslim keenam terbesar di dunia.


Riset itu juga memperkirakan, secara kasar sembilan dari 10 orang Muslim adalah Suni dan satu dari 10 adalah Sy'iah. Mereka mengingatkan, mereka kurang yakin dengan angka-angka itu karena data yang berkaitan dengan soal-soal sektarian sulit didapat. "Hanya ada satu atau dua sensus di dunia yang pernah menanyakan pertanyaan sektarian," kata Grim.


Banyak orang Muslim, soal Ediologi semacam itu merupakan pertanyaan yang sensitif. "Jika ditanya, yang terbanyak akan mengatakan saya hanya seorang Muslim, bukan karena mereka tidak tahu, tetapi itu merupakan pertanyaan yang sensitif di banyak tempat," katanya. Satu dari tiga orang Muslim syi'ah tinggal di Iran, yang merupakan satu dari empat negera dengan penduduk mayoritas syi'ah di dunia. Tiga yang lain adalah Irak, Azerbaijan, dan Bahrain.


Pemetaan penduduk Muslim dunia itu merupakan langkah pertama yang dilakukan Pew Forum. Tahun depan, lembaga itu bermaksud untuk mengeluarkan laporan yang memproyeksikan pertumbuhan penduduk Muslim dunia ke depan. Setelah itu para peneliti akan melakukan hal yang sama terhadap orang Kristen dan kelompok keyakinan yang lainnya. "Kami tidak hanya peduli dengan umat Muslim," kata Grim.


Mereka juga sedang menggali apa yang orang yakini dan lakukan karena penelitian mereka itu tidak menganalisis soal itu. "Penelitian ini tidak mencerminkan religiositas orang, hanya identifikasi diri mereka," kata Grim. "Kami tengah mencoba mendapat gambaran menyeluruh agama di dunia."

Dari:
CyberSabili.com, Jumlah Muslim Dunia 1.57 Miliar Jiwa, http://www.sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=826:jumlah-muslim-dunia-157-miliar-jiwa&catid=85:lintas-dunia&Itemid=284, Diakses pada hari: Kamis, 22 Oktober 2009